Senin, 04 Oktober 2010

Pendidikan dalam Agama Islam

PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA
PENDIDIKAN MORAL ANAK DALAM KELUARGA
DAN ASPEK-ASPEKNYA
A. Pendidikan Moral Anak dalam Keluarga
Menurut Sartono, manusia yang hidup dan berkembang serta berbudaya, sepanjang sejarahnya, menyelenggarakan pendidikan sebagai fungsi utama untuk mempertahankan eksistensinya serta menjamin kontinuitasnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu untuk memelihara kehidupan manusia. Melalui proses pendidikan tersebut, generasi selanjutnya diupayakan mengetahui atau mengerti tentang seluk beluk yang dialami para pendahulunya, baik cara berjalan, makan, mandi, dan seterusnya. Segala bentuk warisan tersebut, akan tetap eksis selama para anak cucunya melestarikan budaya nenek moyangnya.
Pendidikan merupakan usaha orang dewasa untuk mempengaruhi atau membimbing anak didiknya dari yang tidak tahu menjadi tahu, atau membimbing anak didiknya menjadi lebih dewasa. Purwanto mendefinisikan “pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan”. Sementara Langgulung memberikan pengertian pendidikan yaitu “suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik”.
Dari definisi pendidikan yang dipaparkan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha orang dewasa yang lebih tahu dengan sengaja atau tanpa disengaja untuk mengarahkan atau membimbing dan mempengaruhi anak didiknya dengan tujuan supaya segala tingkah laku yang dicontohkan dapat ditiru oleh anak didiknya menuju kearah perkembangan yang lebih baik.
Apabila dicermati, ternyata pembagian masalah pendidikan banyak sekali mulai dari pendidikan jasmani, pendidikan intelektual, pendidikan seks, pendidikan moral, dan pendidikan spiritual. Pendidikan-pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya, terlebih masalah pendidikan moral yang merupakan pendidikan yang harus diberikan sedini mungkin dalam keluarga, sebelum anak mengetahui dunia luar. Dengan diterapkan pendidikan moral, diharapkan manusia dapat hidup dengan tentram, damai, dan sejahtera. Sebab tegaknya suatu masyarakat atau bangkitnya suatu bangsa tak lepas dari manusia-manusia yang mempunyai moral baik dalam kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya runtuh atau hancurnya suatu masyarakat dan bangsa disebabkan manusia-manusianya yang tidak melaksanakan ajaran moral yang berlaku baik ajaran dari agama (Islam) ataupun dari norma sosial.
Sebelum dibicarakan lebih jauh, kiranya harus dibedakan dari konsep yang erat kaitannya dengan moral yaitu akhlak dan etika. Sebagian orang menyamakan pengertian diantara ketiganya, padahal terdapat perbedaan diantara ketiganya.
1. Moral
Kata “moral” berasal dari Bahasa Latin mores yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Moral secara umum merupakan ajaran baik buruk yang diterima masyarakat umum mengenai perbuatan. Sedangkan menurut Zakiah Daradjat, moral adalah “kelakuan jang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masjarakat, jang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, jang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut”. Sementara menurut Nurdin dkk, moral merupakan penjabaran dari nilai yang bersumber dari wahyu Ilahi dan budaya.
Jadi moral itu merupakan aplikasi perbuatan yang berdasarkan pada ajaran Agama (Islam) dan dari unsur budaya yang diakui sebagai kebenaran dalam masyarakat yang dilakukan dengan penuh kesadaran pribadi yang bersangkutan secara kontinu.
2. Akhlak
Kata akhlak berasal dari Bahasa Arab khalaka “( )” yang berarti perangai, tabiat, adat. Atau budi pekerti. Jadi secara etimologi kata akhlak berarti perangai, tabiat, adat, budi pekerti, atau sistem perilaku yang dibuat.
Sementara secara terminologi akhlak adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia diatas bumi. Sistem yang dimaksud adalah ajaran Islam dengan sumber nilainya dari al-Quran dan Sunnah Rasul saw, dan metode berpikirnya (Islam) yaitu ijtihad. Mengutip dari Djatnika, tentang pengertian akhlak yang mengambil dai tokoh Islam, yaitu Ibnu Maskawaih dalam bukunya “Tahdzibul-akhlak wa That-Hirul-a`raq”.
اَلْخُلُقُ حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَـهَا إِلى أفْعَالِـهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَرُوِيَةٍ
Artinya: “Perangai itu adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran”.
Sedangkan al-Ghazali dalam bukunya “Ihya`-u `Ulumuddin”.
فَالْخُلُقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْـئـَةٍ فِى النَّـفْسِ رَاسِخَةٍ عَنْهَا تَصْدُرُ اْلأفْـعَالُ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلى فِكْرٍ وَرُوِيَةٍ
Artinya: “khuluq, perangai adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran”.
Sementara Ahmad Amin, mendefinisikan akhlak dalam bukunya”Al-Akhlak”.
الْخُلُقُ عَادَةُ الإِرَادَةِ
Artinya: “khuluq ialah membiasakan kehendak”.
Dengan demikian akhlak itu merupakan pembiasaan diri dengan tingkah laku yang baik (berbuat kebenaran) berdasarkan kesadaran diri tanpa memikirkan suatu imbalan tertentu.
3. Etika
Kata “etika” secara etimologi berasal dari Bahasa Latin etos yang berarti kebiasaan. Sedangkan secara terminologi etika merupakan kesepakatan masyarakat pada suatu waktu dan di tempat tertentu. Sebab antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain akan berbeda pandang dalam masalah etika ini, sehingga kebenarannya pun akan
berbeda pula. Apabila suatu mayarakat bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat itu, tentu akan bercorak religius pula. Sebaliknya bila suatu masyarakat bercorak sekuler, maka etika yang akan dikembangkan tentu saja akan bercorak sekuler pula.
Pendidikan moral di sini adalah segala upaya yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya baik melalui bimbingan atau arahan agar anak (didik) dapat bertingkah laku sesuai dengan moral yang ada, baik moral agama atau pun moral sosial.
Untuk mengetahui pengertian keluarga yang di maksud dalam penelitian ini, sebelumnya peneliti akan memberikan sedikit gambaran pengertian keluarga baik dari sudut pandang yuridis formal, sosiologis, dan paedagogies.
1. Tinjauan yuridis formal
Pengertian keluarga secara yuridis formal adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
2. Sudut pandang sosiologis
Secara sosiologis keluarga diartikan sebagai unit terkecil atau umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya.
3. Perspektif paedagogie
Secara paedagogies keluarga diartikan sebagai lembaga pertama dan utama yang dialami seseorang di mana proses belajar yang terjadi tidak berstruktur dan pelaksanaannya tidak terikat oleh waktu.
Berkaitan dengan penelitian ini, maka pengertian keluarga yang di maksud adalah dari perspektif paedagogie. Sebab dalam hal ini peran keluarga sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya dalam membimbing dan membina generasi mendatang, terutama dalam pendidikan moral.
Pendidikan (moral) dapat dilakukan di lembaga formal ataupun lembaga informal. Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam dunia pendidikan ada tiga pusat pendidikan atau yang disebut tri pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lembaga ini tidak berdiri sendiri atau terpisah, melainkan saling berkaitan atau bekerja sama dan merupakan satu rangkaian yang bertujuan demi tercapainya tujuan pendidikan yaitu membentuk manusia seutuhnya sehat lahir batin atau sehat jasmani rohani bagi generasi muda (anak didik). Pendidikan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua kepada anak. Anak merupakan amanah dari Allah swt. yang harus dijaga, dirawat, dan diperhatikan segala kebutuhannya, baik kebutuhan jasmani atau rohani. Adanya tanggung jawab orang tua kepada anaknya di karenakan adanya sifat lemah pada diri anak. Anak lahir dalam kondisi serba tidak berdaya, belum mengerti apa-apa dan belum dapat menolong dirinya sendiri. Ia memerlukan tempat bergantung. Tidak ada tempat bergantung yang aman sesuai kodratnya sebagai anak, kecuali kepada orang yang sangat menyayanginya yaitu kedua orang tuanya.
Pendidikan keluarga termasuk pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, pada umumnya tidak teratur dan tidak sistematis sejak seseorang lahir sampai mati. Keluarga atau masyarakat terkecil merupakan tempat pertama dan utama pendidikan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Karena sebelum anak menerima bimbingan dari sekolah, ia lebih dahulu memperoleh bimbingan dari keluarganya, terutama ibu bapaknya. Pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi pembentuk watak kepribadian anak. Dalam kehidupan kesehariannya, anak banyak berkumpul dengan keluarga. Segala tingkah laku orang tua terutama orang tuanya akan ditiru oleh anak, sebab anak merupakan peniru yang ulung. Bila obyek peniruannya jelek, orang tua tidak memberikan kasih sayang yang memadai dan tidak memberikan teladan yang baik, serta jauh dari nuansa agama, maka jangan berharap kedua orang tuanya akan menunai buah hasil yang baik. Namun apabila kedua orang tuanya memberikan teladan yang baik, saling menghormati, menyayangi, jalinan yang baik sesama anggota keluarganya, tidak bersifat masa bodoh, selalu memberikan contoh yang bernuansa ajaran islami, maka semua itu akan tercetak ( terlukis) pada diri anak dan ia senantiasa akan meniru segala perbuatan yang terekam mulai pagi hari sampai sore hari.
Keteladanan yang diberikan pada masa kanak-kanak awal seharusnya berasal dari bapak ibunya, karena seorang anak sering tidak menghiraukan orang lain. Ketika anak melihat selain orang tuanya sendiri mengerjakan sesuatu, ia tidak akan mudah terpengaruh, apalagi kalau kedua orang tuanya tidak sejalan dengan orang tersebut. Namun sebaliknya anak tidak dapat menghindar dari perbuatan orang tua. Atau dengan kata lain, satu pekerjaan yang dikerjakan berulang-ulang oleh orang tua, akan memberikan pengaruh pada diri anak. Orang tua yang bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya akan memberikan pengarahan dan dasar yang benar kepada anaknya, yakni dengan menanamkan ajaran agama dan akhlakul karimah. Berdakwah dalam keluarga lebih utama dibandingkan dengan di tempat lain. Keselamatan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua. Jangan sampai pendidikan keluarga terabaikan karena kepentingan yang lain. Adalah tidak bijak, memberikan penerangan kepada orang lain, sementara keluarganya berantakan. Hal semacam ini dilarang dalam ajaran Islam. Dalam sejarah perkembangan Islam juga dapat diketahui bahwa sebelum berdakwah kepada masyarakat luas, Rasulullah saw. diperintahkan untuk berdakwah kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi keagamaan dan keselamatan keluarga harus lebih diprioritaskan. Pada hakekatnya dari kebaikan dan keselamatan keluarga akan muncul kebaikan dan keselamatan masyarakat dan negara. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.dalam QS.al-Syu’araa’ (26): 214.
وأنذر عشــيرتك الأقربـين –(الشعراء:214)–
Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang ter-dekat”.
Allah juga berfirman dalam surat yang lain yaitu QS.al-Tahrim (66): 06, Dia menyerukan kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka.
يآيّهَا الْذِيْنَ أمَنُوْا قُوْآ اَنـْفُسـَـكُمْ وَاَهْلِــيْكُمْ نَارًا … –(التحريم:6)–
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Untuk mendapatkan anak yang mempunyai perilaku baik tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi orang tua harus mempersiapkan tahapan-tahapan yang harus diajarkan kepada putra putrinya agar tujuannya tercapai. Diantara tahapan-tahapan pendidikan moral anak dalam keluarga adalah:
a. Pendidikan moral masa pranatal (prenatal)
Pendidikan moral sebaiknya tidak terlepas dengan pendidikan agama. “Sebab pendidikan moral jang paling baik sebenarnja terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral jang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnja dari kejakinan beragama”, demikian menurut Zakiah Daradjat. Sebagai seorang muslim, tentunya dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari tidak lepas dari ajaran agama yang dianut. Ambil satu contoh, apabila kita ingin berkeluarga diharapkan agar mencari pasangan yang seagama agar dapat hidup tenteram, rukun, dan bahagia dunia akhirat.
Setelah terjadinya pembuahan dalam rahim istri, maka tiba saat pranatal, dalam arti istri mengandung anak yang akan lahir. Untuk mempersiapkan keadaan tersebut, maka hal yang harus dilakukan calon ayah dan ibu adalah melakukan pendidikan yang salah satunya berupa pendidikan moral masa pranatal secara lahir batin. Pendidikan prenatal adalah upaya pendidikan yang dilakukan oleh calon ayah dan ibu pada saat anak masih berada dalam kandungan.
Sempurnanya bentuk manusia dalam rahim calon ibu, prosesnya itu melalui beberapa tahapan. Diantara tahapannya adalah empat puluh hari pertama masih embrio (janin), belum terlihat bentuknya. Empat puluh hari kedua, menjadi darah kental (alaqah) mulai tampak permulaan munculnya wajah. Panjangnya sekitar 2,5 cm. Empat puluh hari ketiga, menjadi segumpal daging (mudghah) yang panjangnya sekitar 12,5 cm. Mulai berbentuk manusia. Jari-jari tangan dan kaki serta alat kelamin eksternal mulai berbentuk. Empat puluh hari keempat, merupakan saat terpenting yakni saat penentuan nasib inilah, calon orang tua terutama calon ibu, berusaha agar senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt. dengan cara mendidik calon bayi yang dikandungnya dengan memperbanyak doa dan ibadah supaya mendapatkan keturunan yang mempunyai pribadi saleh dan berguna bagi agama dan masyarakat, atau yang di sebut dengan pendidikan batin. Hal ini sesuai dengan hadis Rasul saw. yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah.
عن عبد الله قال: حدّثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم إنّ أحدكم يجمع خلقه فى بطن أمّه أربـعـين يوما. ثمّ يكون فى ذلك علقة مثل ذلك. ثمّ يكون فى ذلك مضغة مثل ذلك. ثمّ يرسل الـملك فيـنـقخ فيه الروح. ويؤمر بأربع كلمـات. بكـتب رزقه, وأجله, وعلمه, وشقيّ أوسـعيد. -(رواه مســلم)-
Artinya: “Dari Abdullah berkata; telah bercerita (kepada saya) Rasulullah saw. Sesungguhnya, seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibu selama 40 hari. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula. Kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan roh atasnya serta menulis empat ketetapan, yakni rezekinya, umurnya, amalnya, dan nasibnya (pertolongan)”. (HR. Muslim).
Selain diberi pendidikan batin, calon bayi juga diberi pendidikan fisik melalui ibunya dengan cara mengkonsumsi makanan yang bergizi dan halal, untuk pertumbuhan otak dan fisiknya. Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan janin, baik secara fisik maupun psikis, sehingga diharapkan lahir bayi yang kuat, sehat, dan cerdas. Sebab makanan bergizi juga bermanfaat terhadap calon ibu menjelang persalinan dan waktu menyusui anaknya.
Di samping itu, pasangan suami istri juga diharapkan untuk berusaha menciptakan keadaan yang baik, harmonis, dan wajar dalam menyambut kelahiran anaknya sebagai amanah dari Allah swt. Pendidikan dari calon ayah dan ibu tersebut diharapkan akan mempengaruhi mental sifat anaknya. Allah berfirman dalam QS.Maryam (19): 28.
يَآ اُخْتَ هرُوْنَ مَاكَانَ أبُوْكِ امْرَأ سَوْءٍ وَّمَا كَانَتْ أمُّكِ بَغِيًّا –(مريم:28)–
Artinya: “Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”.
Untuk memperoleh seorang anak, pada umumnya melalui jalan perkawinan. Dengan sarana perkawinan tersebut, maka rasa akan tanggung jawabnya sebagai orang tua secara naluriah akan muncul. Oleh karena itu orang tua harus berusaha menjaga dan merawatnya sebagai amanat dari Ilahi.
b. Pendidikan moral masa balita (kanak-kanak pertama 0-5 tahun)
Setelah ibu melahirkan, pertama yang harus dilakukan orang tua (bapak) adalah untuk memberikan pengalaman keagamaan, yaitu ia diazankan untuk anak laki-laki, diiqamatkan untuk anak perempuan. Kemudian tugas orang tua yang lain adalah memberikan nama yang baik buat anaknya. Anak lahir sungguh membutuhkan bantuan dari pihak yang lain terutama ayah ibunya sebagai sarana pengembangan potensinya. Seorang anak yang dibesarkan, dipelihara, dan dididik dalam keluarga yang aman, tenteram, penuh dengan kasih sayang, akan tumbuh dengan baik dan pribadinya akan terbina dengan baik pula, lebih-lebih lagi bila orang tuannya mengerti agama dan taat menjalankannya dengan tekun.
Orang tua merupakan faktor pembentuk pribadi atau karakter anaknya. Sebab sebagian besar waktu anak bersama mereka terutama ibunya. Ikatan emosional ibu dengan anak lebih besar dibandingkan dengan hubungan kedekatan anak dengan ayahnya. Mulai pagi hingga malam hari waktu ibu dihabiskan bersama anaknya. Ibu yang baik tidak akan pernah lupa dengan tanggung jawabnya dalam membentuk kepribadian anaknya. Baik buruk anak tergantung pengasuhan dan pendidikan dari orang tuanya, sebab anak merupakan seorang peniru yang ulung. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah.
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مامن مولود الا يولد على الفطرة. فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه. –(رواه مســلم)–
Artinya: “Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. Bersabda: Tidak ada anak kecuali dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau menasranikannya atau me-majusikannya. (HR. Muslim).
Untuk memberikan bimbingan, arahan, dan pengawasan terhadap anaknya dibutuhkan adanya kerja sama dalam bentuk kesepakatan atau kompromi agar kelak tidak membingungkan anak dalam menerima pendidikan tersebut. Apabila anaknya bersalah, maka orang tua harus konsisten untuk memberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Anak dalam usia 0-3 tahun belum bisa membedakan atau memahami kata-kata atau simbol yang abstrak. Oleh karena itu perlu adanya keteladanan dari orang tuanya dalam bentuk pengalaman langsung yang dapat dirasakan akibatnya dalam kehidupan kesehari-hariannya. Atau dengan kata lain tingkah laku orang tua patut dijadikan contoh obyek peniruan dan identivikasi bagi anak anaknya. Hal ini sesuai denga firman Allah dalam QS. Fushshilat (41): 46.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَـفْسِه وَمَنْ اَسَـاءَ فَعَلَيْهَا قلى وَمَا رَ بُّكَ بِظّلاَّمٍ لِّلْعَبـِيْدِ -(فصلت:46)–
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya”.
Karena dalam masa ini (0-3 tahun) orang tua merupakan otoritas mutlak yang harus dianut oleh anaknya, maka dari itu diperlukan bimbingan dan arahan dari bapak ibu kepada anaknya melalui pembiasaan hal-hal yang baik, seperti anak dilatih bersopan santun, tutur kata yang baik, sering diajak melakukan salat, dan sebagainya. Semua yang dilakukan orang tua, baik ucapan dan tindak tanduk semuanya akan terekam dalam diri anak dari pagi hingga sore hari. Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk menjaga dan memelihara angota keluarganya dari api neraka.
Memasuki usia 3-5 tahun, keberadaan anak dalam keluarga sudah mulai berkurang, karena ia mulai mengenal lingkungan barunya terutama dengan teman sebayanya. Dalam usia 0-3 tahun, anak diajarkan benar dan salah oleh kedua orang tuanya, maka usia 3-5 tahun nilai-nilai tersebut bergeser kepada norma-norma sosial sehingga yang muncul adalah bagaimana seharusnya anak bertingkah laku dengan teman-temannya yang baik dan benar. Tugas orang tua pada masa ini kepada anaknya adalah menunjukkan bagaimana seharusnya anak bertingkah laku yang baik. Pemberian dorongan atau motivasi pada anak supaya anak gemar dan mempunyai tradisi berbuat baik seperti yang telah dicontohkan bapak ibu terhadap dirinya, dapat dilakukan orang tua dengan cara pemberian pujian baik melalui ucapan ataupun pemberian hadiah ketika anak menampilkan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Diberikannya pujian terhadap anak dapat memupuk suasana yang menggembirakan dan dapat mempertinggi harga diri anak. Dan sebaliknya juga diberikan bahaya-bahaya, apabila anak melakukan perbuatan yang bersifat negatif (jelek).
Larangan ataupun perintah yang diterapkan orang tua pada usia 3-5 tahun ini, akan dipersepsikan anak dengan konsep benar atau salah. Adapun pengawasan sebagai tugas orang tua yang berbentuk preventif yang baik yaitu anak diusahakan dan dijauhkan dari lingkungan atau pergaulan yang tidak baik dan tidak sopan. Dalam periode ini sangat dibutuhkan kewaspadaan yang serius dan jeli dari ibu bapaknya, sebab pembinaan mental anak hampir dimonopoli oleh mereka terutama ibunya.
c. Pendidikan moral masa sekolah (kanak-kanak terakhir 6-12 tahun)
Ketika anak mencapai umur 6-12 tahun, maka tugas orang tua adalah memberikan ilmu pengetahuan menulis dan membaca. Namun biasanya, karena keterbatasan waktu dan kesibukan orang tua, anaknya dikirim ke lembaga formal (Sekolah Dasar). Dengan posisi guru di sekolah sebagai pengganti orang tua, tidak secara otomatis beban tanggung jawab orang tua dengan sendirinya hilang. Sebab hanya sedikit waktu anak di sekolah dibandingkan waktu berkumpul anak dalam keluarga. Memang orang tua tidak akan mengajar ilmu pengetahuan secara formal, akan tetapi secara tidak langsung dan informal orang tua melaksanakan terus menerus pendidikan dan pembinaan mental terhadap anaknya.
Orang tua yang bijaksana, tentunya akan memilihkan lingkungan sosial baru kepada anaknya (sekolah Dasar) yang dapat menjadi lapangan yang baik bagi pertumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik, di samping sebagai tempat atau lahan penggalian pengetahuan pendidikan ketrampilan dan pengembangan bakat serta kecerdasan pada diri anak.
Pemberian pengetahuan yang berupa menulis dan membaca, orang tua berharap anaknya kelak dapat menjadi orang yang dapat berguna dalam agama dan masyarakat melebihi pengetahuan bapak ibunya. Para guru diharapkan dalam memberikan pengetahuan kepada anak didiknya seyogyianya menggunakan bahasa yang komunikatif dalam arti agar mudah dicerna dan dipahami maksud yang akan disampaikan kepada anak
didiknya. Dan juga para guru seharusnya dapat dijadikan tokoh panutan dan pemberi contoh yang baik, agar penanaman moral yang telah diperoleh di dalam keluarganya tidak terjadi salah paham atau membingungkan para siswanya. Sekolah merupakan proses kelanjutan pendidikan anak dalam keluarga, karena yang berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak pada umur ini bukan hanya orang tua saja, tetapi juga guru. Penampilan guru-guru di sekolah terutama guru agama hendaknya dapat mengembangkan dan memupuk apa-apa yang sudah betul, dan memperbaiki yang salah, yang diterimanya dari orang tuanya. Untuk menunjang dalam pendidikan moral ini, seharusnya pendidikan agama dilakukan secara intensif, yaitu antara ilmu dan amal supaya dapat dirasakan oleh anak didik di sekolah, dalam arti pendidikan agama bukan berarti hanya sekedar menanamkan iman dan keyakinan beragama saja. Pada usia sekolah ini diusahakan pendidikan agama sudah menyangkut amal perbuatan kongkret, sehingga siswa dapat memahaminya bukan hanya berupa pengetahuan saja. Para guru diharapkan tidak pilih kasih terhadap siswa-siswanya. Dengan keadaan semacam ini tidak akan menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan anak didiknya. Dalam masa ini (usia sekolah Dasar) apabila ada anak yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan kelompoknya, maka resikonya adalah akan dikucilkan dari kelompok sebayanya.
Pergaulan anak dengan lingkungan sosial (teman sebaya), juga berpengaruh terhadap perhatian anak dalam melaksanakan ajaran agamanya. Jika teman-temannya pergi mengaji, mereka akan ikut mengaji, temanya rajin salat jamaah ke masjid atau mushola juga akan turut serta pergi ke tempat ibadah tersebut. Untuk itu, harus ada kontrol dari orang tua
dalam mengamati pergaulan anaknya. Sebab apabila kelompok anaknya, merupakan kelompok yang tidak baik, dikhawatirkan akan mempengaruhi perilaku yang tidak baik pula pada diri anak. Satu contoh yang diberikan Rasul saw. Dalam suatu hadisnya yang berarti yaitu orang tua harus menyuruh anaknya yang berumur 7 tahun untuk melakukan salat. Andaikan sampai berumur 10 tahun anak tetap tidak mau melakukan salat tersebut, maka orang tua diberi kewajiban memukul anaknya, sebagai tanda agar anak tidak membiasakan diri hingga dewasa tanpa melakukan ibadah salat itu.
Apabila anak mencapai umur sekitar 10 tahun ke atas, maka agama baginya berfungsi sebagai pendidikan moral dan sosial. Anak mulai berpikir bahwa nilai-nilai agama bernilai tinggi dibandingkan dengan nilai pribadi atau nilai keluarga bahkan nilai masyarakat. Sebab kebenaran nilai agama merupakan milik masyarakat. Untuk membentuk pribadi anak yang mempunyai moral baik itu, tentunya dibutuhkan kesadaran dari elemen keluarga, sekolah, dan masyarakat yang berfungsi sebagai pengontrol dalam kehidupan sehari-hari. Dengan rasa tanggung jawab bersama itu, kiranya sesuatu yang menjadi harapan bersama akan terwujud ketika semua masih mau berusaha dan berjuang demi nilai-nilai ajaran agama Islam.
B. Aspek-aspek Pendidikan Moral
Pelaksanaan pendidikan dapat tercapai sesuai tujuan yang diinginkan, apabila semua faktor-faktor pendidikan terpenuhi. Diantara faktor-faktornya adalah tujuan, metode, pendidik, dan anak didik. Faktor tujuan dalam pendidikan sangat penting. Sebab dengan adanya tujuan akan berdampak pada suatu harapan yang ingin dicapai kelak.
Bentuk tujuan pendidikan yang diharapkan, idealnya mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Apabila ketiga ranah tersebut tercapai oleh setiap manusia (anak didik), maka aktualisasinya pun akan terwujud.
Demikian juga pendidikan moral yang dilakukan, bertujuan untuk mendidik anak menjadi orang yang berkepribadian dan berwatak baik. Orang tua yang menginginkan anaknya bermoral baik, tentunya ia harus berupaya semaksimal mungkin untuk mencurahkan segala daya upaya yang terbaik bagi anak, terutama anak pertama. Sebab anak pertama, disamping orang tuanya, ia akan dijadikan teladan bagi adik-adiknya.
Tujuan pendidikan moral dapat tercapai, apabila semua faktor yang ada baik orang tua, anak, lingkungan, dan metode dapat bekerja sama dalam membentuk karakter anak. Sebagai pendidik dalam memberikan informasi kepada anak, orang tua harus melihat kondisi anak terutama dari segi umur.
Anak yang berumur 0-10 tahun, menurut Kohlberg yang dikutip oleh A.M.P. Knoers dan Siti Rahayu Haditono, seharusnya anak sudah pernah menerima informasi sebagai berikut:
1. Penalaran moral yang pra-konvensional
Hal ini mendasarkan pada obyek di luar diri individu sebagai ukuran benar salah. Sebagai contoh, anak harus mengikuti perintah ataupun larangan dari orang tua sebagai pemegang otoritas mutlak. Menurut orang tua, apabila anak bertingkah laku sesuai orang tua maka anak tidak akan menerima hukuman dan sebaliknya, apabila anak membangkang kehendak orang tua maka ia memperoleh hukuman.
2. Penalaran moral yang konvensional
Dalam penalaran ini mendasarkan pada pengharapan sosial, dimana suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat. Anak dianggap baik apabila anak bertingkah laku sesuai dan dapat menyenangkan orang lain. Perbuatan anak dalam bertingkah laku harus sesuai dengan jenis kelaminnya yang sesuai dengan masyarakat tersebut.
3. Penalaran moral yang post-konvensional
Memandang aturan-aturan yang ada dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif, dan dapat diganti oleh yang lain. Dan masyarakat sebagai pengontrol yang legalistis. Individu harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya masyarakat juga harus menjamin kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat adalah subyektif.
Anak sebagai obyek dari pendidikan moral, senantiasa akan menirukan segala tingkah laku yang diperbuat orang tua dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu lingkungan pendidikan moral sedapat mungkin memberikan contoh atau dapat dijadikan teladan bagi anak, terutama orang tuanya sendiri. Pada diri anak yang dibutuhkan adalah keteladanan dan pengalaman praktis dalam kehidupan sehari-hari, bukan cerita baik dan buruk. Sebab anak merupakan peniru ulung.
Perbuatan anak tidak akan jauh dari perbuatan orang tuanya. Untuk itu orang tua harus ekstra hati-hati dalam bertindak (tingkah laku) di depan anaknya. Anak akan menirukan apa yang ia dengan dan apa yang ia lihat dari lingkungannya dari pagi hingga sore hari.
Anak bertingkah laku baik itulah tujuan akhir dari pendidikan moral ini. Hal ini dapat dicapai apabila semua faktor pendidikannya mendukung. Salah satu faktornya berupa tujuan pendidikan. Diantara aspek-aspek dari tujuan pendidikan moral itu adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Idealnya ketiga aspek ini dimiliki oleh anak, agar aktualisasi pendidikan moral itu benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Sebab ketiganya merupakan komponen yang tidak terpisahkan.
a. Aspek kognitif
Aspek kognitif yaitu kemampuan anak untuk menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Pemberi informasi baik buruk pertama kali dan utamanya dari orang tuanya. Sebab pertama kali anak berinteraksi dengan lingkungannya yaitu dengan orang tuanya terutama ibunya. Di saat anak berumur 0-5 tahun, sebaiknya orang tua telah menanamkan moral baik dan buruk. Atau dengan kata lain, apabila anak tidak mau mengikuti kemauan orang tuanya, ia pantas menerima hukuman. Begitu juga sebaliknya, apabila anak mengikuti aturan yang diberikan orang tua maka ia tidak akan menerima hukuman, karena ia berbuat sesuai aturannya.
Walaupun posisi orang tua mempunyai otoritas mutlak, namun sebaiknya orang tua jangan sembarangan bertingkah laku dihadapan anak. Sebab anak akan merekam dan menirukan segala perilaku orang tua dan lingkungannya dengan rasa imitasinya. Meskipun orang tua tidak pernah memberikan informasi yang negatif, tetapi orang tua harus waspada terhadap anaknya. Karena sedikit banyaknya anak akan terpengaruh dengan lingkungan di mana ia bersosial. Untuk itu orang tua harus memberikan perhatian, baik berupa bimbingan dan arahan yang baik agar apa-apa yang ia peroleh (informasi) dari lingkungannya dapat terkontrol.
Memasuki usia sekolah dasar (6-12 tahun), para guru terutama guru agama merupakan panutan bagi anak di samping ayah ibunya. Karena para guru tersebut di samping memberikan pengajaran, juga merupakan penerus dari pendidikan moral keluarga. Oleh karena itu para guru harus berusaha membenahi tingkah laku anak, apabila ada yang salah dari pendidikan orang tuanya.
Salah satu aturan sekolah yang harus ditaati siswa (anak) adalah ia harus memenuhi segala tugas dan kewajibannya sebagai anak didik. Apabila ia melaksanakan segala aturan sekolah tersebut, maka ia tidak akan menerima hukuman. Dan sebaliknya apabila ia melanggar aturan sekolah maka ia pantas menerima hukuman. Pada masa ini yang berlaku adalah aturan masyarakat sekolah, bukan aturan orang tuanya. Hal ini terjadi karena adanya perjanjian antara siswa denga pihak sekolah.
Meskipun orang tua telah menyerahkan tugasnya kepada pihak sekolah, namun dengan tidak sendirinya kewajiban orang tua dalam mendidik anaknya gugur. Karena waktu anak banyak bergaul dengan keluarganya. Dengan keadaan tersebut, maka orang tua diharapkan senantiasa menanyakan kegiatan anak terutama dengan perilakunya. Hal ini dilakukan sebagai kontrol terhadap perilaku anak.
Orang tua juga harus mengusahakan dan memberikan pengertian kepada anak dalam memilih teman bergaul yang baik perilakunya. Ini semua dilakukan agar anak tidak terjerumus dan ikut-ikutan dalam perbuatan yang negatif. Sesuai firman-Nya QS. Luqman (31) : 17.
يَـبُنُيَّ أقِمِ الصَّلوةَ وَأمُرْ بِالْـمَعْرُوْفِ وَأنـْهَ عَنِ الْـمُنْكَرِ وَأصْبِرْ عَلى مَآأصَابَكَ ط إنَّ ذلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأمُوْرِ –(لقمن:17)-
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
Salah satu contoh kebaikan adalah mengerjakan salat. Salat sangat penting dilakukan anak, karena kegiatan ini merupakan salah satu rukun dari rukun Islam. Apabila anak tidak mau melakukan salat sampai berumur 10 tahun, maka anak harus menerima hukuman sebagai konsekuensinya.
Aspek kognitif ini dikatakan berhasil, diantaranya apabila anak telah mampu mengetahui, memahami, dan menerapkan informasi yang telah diperolehnya kemudian “ditransfer” kedalam dirinya yang berbentuk pengetahuan intelektual tentang hal (salat) tersebut.
b. Aspek afektif
Aspek afektif adalah kemampuan anak untuk merasakan dan menghayati apa-apa yang diajarkan, yang telah diperolehnya dari aspek kognitif di atas tersebut. Setelah anak mengetahui dan memahami dari pengertian salat, tahapan selanjutnya adalah anak dengan kesadarannya senang memperhatikan orang melakukan salat. Rasa perhatiannya itu dapat ditunjukkan anak dengan senang melafalkan doa-doa salat dan kadang-kadang menirukan gerakan orang salat.
Peran orang tua dalam hal ini adalah mengusahakan lingkungan belajar anak. Usaha pertama adalah melalui lembaga formal (MI atau TPQ) agar anak senantiasa memperoleh banyak informasi tentang salat. Usaha kedua, yaitu orang tua senantiasa membimbing dan mengajak anak ke tempat dimana banyak orang yang melakukan salat, supaya anak dapat merespons kegiatan tersebut. Apabila anak sudah mampu merasakan dan menghayatinya, maka anak akan menghargai nilai-nilai yang ada dalam salat. Dan akhirnya ia percaya akan kebaikan nilai itu
dan rela untuk mempertahankan dan menjadikannya sebagai karakter dalam falsafah hidupnya.
Keberhasilan aspek ini, salah satunya dapat dilihat dari rasa penghargaan anak terhadap nilai yang dipelajarinya. Bentuk penghargaan tersebut berupa rasa penerimaan terhadap nilai yang dipelajarinya, sebagaimana nilai yang ada dalam salat tersebut.
c. Aspek Psikomotorik
Aspek psikomotorik adalah kemampuan anak didik untuk merubah perilaku sesuai dengan ilmu yang telah dipelajari (aspek kognitif) dan ilmu yang telah dihayatinya (aspek afektif). Tahapan dari mengerti tentang sesuatu (salat) dilanjutkan dengan menghayati nilainya, dan tahapan terakhir adalah melaksanakan hal tersebut dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari aspek psikomotorik yaitu anak dengan kesadarannya melakukan gerakan salat saat tiba waktunya. Dengan melakukan salat setiap hari minimal lima kali, maka hal ini akan menjadi tradisi dalam hidupnya. Andaikata anak pernah meninggalkan sekali salatnya, maka perasaan bersalah (berdosa) yang akan menghantuinya (dirasakan).
Menurut Bloom cs, yang dikutip oleh Nasution, bahwa ketiga ranah tersebut saling berhubungan. Meskipun pada awalnya hal ini (ranah) berlaku dalam dunia pendidikan, tetapi akhirnya berlaku juga dalam segala hal yang dilakukan manusia. Walaupun ketiga ranah tersebut bersifat integral, namun dalam dunia pendidikan moral ini, ranah yang sangat berperan adalah ranah afektif. Sebab pendidikan moral itu sifatnya abstrak, oleh karena itu perlu adanya kongkritisasi orang tua dalam pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila kongkritisasi itu dapat dilakukan, maka anak pun akan mengikuti perbuatan orang tuanya. Karena periode anak-anak adalah masa imitasi dan identivikasi. Maka perlu adanya lingkungan yang kondusif agar pendidikan moral tersebut sesuai tujuan yang diharapkan.
Setelah anak mampu melaksanakan aktualisasi salat setiap hari, orang tua sebagai panutan pertama bagi anak sepatutnya memberikan motivasi kepada anak agar ia tetap rajin melaksanakan salat. Pembinaan dari orang tua dapat dilakukan dengan senantiasa mendampingi anak melaksanakan salat berjamaah, baik di rumahnya atau di masjid.
C. Keberhasilan Pendidikan Moral Anak Dalam Keluarga
Proses pendidikan dapat berhasil apabila didukung oleh faktor-faktornya. Diantara faktor pendidikan tersebut meliputi faktor tujuan, pendidik, anak didik, dan alat-alat. Dari ilustrasi di atas, maka pendidikan moral anak dalam keluarga akan berhasil, apabila semua faktor pendidikannya terpenuhi. Diantara faktor-faktor pendidikan moral yaitu sebagaimana yang terdapat dalam faktor pendidikan tersebut.
1. Faktor Tujuan
Faktor tujuan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Karena segala sesuatu yang diusahakan akan nampak hasilnya, apabila tujuan tersebut tercapai. Demikian juga dalam pendidikan moral ini, faktor tujuan merupakan akhir dari proses pendidikannya yaitu agar anak dapat bermoral yang baik. Untuk mempersiapkan perencanaan tujuan tersebut dalam pelaksanaannya menurut Gronlund dan Linn (1990) dalam bukunya “ measurement and evaluation in teaching”, sebagaimana yang dikutip oleh Zubaidi, menyarankan 4 prinsip yang harus dipenuhi, yaitu : kelengkapan (completeness), kesesuaian (appropriateness), ketepatan (soundness), dan fisibilitas ( feasibility).
a. Kelengkapan
Kelengkapan yang dimaksud adalah apabila seluruh hasil pendidikan moral yang penting telah tercakup dalam tujuan tersebut. Sebagai contoh, anak sudah mampu membiasakan diri melakukan perbuatan yang positif dan meninggalkan yang negatif dalam kehidupan sehari-harinya.
b. Kesesuaian
Kesesuaian yang dimaksud adalah bahwa orang tua mengharapkan anaknya tersebut pada akhirnya mampu meng-aplikasikan informasi yang telah diterimanya dalam bentuk ketiga ranah yang integral, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik berjalan beriringan.
c. Ketepatan
Usia kanak-kanak merupakan usia di mana rasa imitasinya sangat tinggi terhadap lingkungan di mana ia bertempat tinggal. Oleh karena itu orang tua dalam keluarganya harus mengusahakan untuk memberikan “transfer” informasi pendidikan moral baik yang bersifat nasihat ataupun pembiasaan dalam diri anak.
d. Fisibilitas
Fisibilitas dimaksud yaitu setelah orang tua memberikan informasi pendidikan moral, ia tidak menuntut kepada anaknya secara berlebihan. Namun disesuaikan dengan perkembangan dan pertumbuhannya. Sebagai contoh, anak umur tujuh tahun, apabila belum mau melaksanakan salat maka orang tua harus bersabar untuk membimbingnya, bukan memberikan hukuman secara fisik.
2. Faktor pendidik
Faktor pendidik yang dimaksud di sini adalah pendidik secara alamiah (orang tua). Orang tua sebagai pendidik bagi anak harus bertakwa kepada Allah, berkelakuan baik, dan bertanggung jawab terhadap tugasnya. Orang tua yang baik tentunya akan bersikap sabar dan rela berkorban demi tanggung jawabnya. Juga orang tua harus mencintai anaknya sebagai rasa kasih sayangnya terhadap amanat dari Allah.
Orang tua sebelum mendidik anaknya, maka hal yang pertama dilakukannya adalah penyelamatan hubungan yang baik antara keduanya sehingga dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya. Apabila hubungan keduanya harmonis dan jauh dari masalah yang mengganggu rumah tangganya, maka konsentrasi terhadap pendidikan anak akan terfokus.
Peran keluarga (orang tua) sangat penting dalam pendidikan moral ini, namun juga tidak menafikkan peran lingkungan pendidikan yang lain seperti sekolah dan masyarakat.
Oleh karena itu orang tua sebagai pendidik pertama, sedapat mungkin memberikan lingkungan yang dapat membentuk anak bermoral. Apabila dalam periode awal pendidikan moral ini, anak tidak pernah mendapatkan penalaran moral yang pra-konvensional niscaya untuk mendapatkan anak yang bermoral akan jauh dari harapan.
Dengan kondisi yang sangat menentukan ini, seharusnya pihak orang tua ekstra hati-hati dalam memberikan informasi dan keteladan moral bagi anak. Meskipun orang tua mempunyai otoritas mutlak, tetapi menjadi keharusan bagi orang tua sedapat mungkin dijadikan teladan bagi anak dalam bertingkah laku. Bagi anak yang dibutuhkan adalah praktek keberagamaan dan tindak moral dari orang tua, bukan bercerita baik dan buruk. Karena dalam periode ini (kanak-kanak awal), anak tidak dapat menangkap simbol-simbol yang abstrak. Apabila orang tua mampu memberikan hal itu kepada anak, niscaya rasa imitasi anak terhadap orang tua akan terwujud dalam kepribadiannya. Dan juga adanya kontrol dari orang tua sebagai koreksi atas perilaku anak.
3. Faktor anak didik
Anak (didik) atau manusia dalam perkembangannya merupakan hasil perpaduan antara “nature-nurture”. Atau dalam bahasanya Irwanto, dkk, bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Dalam dunia pendidikan perpaduan “nature-nurture” di sebut sebagai teori konvergensi. Dimana teori ini, menjelaskan bahwa kedua faktor tersebut memberikan pengaruh sama besarnya dalam perkembangan mental individu. Demikian juga hal ini berlaku dalam pendidikan moral.
a. Faktor Pembawaan
Diakui bersama bahwa kontribusi genetik orang tua memberikan pengaruh terhadap pembentukkan sifat anak. Apabila orang tua berharap ingin mempunyai anak yang bermoral baik, maka ia harus berusaha tidak mengkonsumsi makanan yang bukan miliknya (hasil mencuri) dan juga senantiasa melatih dirinya dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui usaha menjalankan segala yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan Allah.
b. Faktor Lingkungan
Walaupun orang tua tidak memberikan informasi pendidikan moral yang negatif, tetapi orang tua harus waspada terhadap perilaku anak. Sebab lingkungan juga merupakan sumber belajar (imitasi) bagi anak. Agar perilaku anak terkontrol, maka orang tua harus senantiasa mengoreksi tingkah laku anak, jika ada perilaku anak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
4. Faktor Alat-alat
Faktor alat-alat yang dimaksud di sini adalah faktor alat dalam arti luas yang dapat diartikan dengan metode-metode. Berkaitan dengan pendidikan moral ini, maka metode-metode yang digunakan pendidik terutama orang tua dalam pendidikan moral ini, sebagaimana yang dikutip oleh Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali dari Abdullah Nashih Ulwan adalah :
a. Pendidikan dengan keteladanan.
b. Pendidikan dengan adat kebiasaan.
c. Pendidikan dengan nasihat.
d. Pendidikan dengan memberikan perhatian.
e. Pendidikan dengan memberikan hukuman.
Menurut pemikiran Ulwan, apabila metode-metode tersebut diterapkan dalam pendidikan anak khususnya dalam keluarga, maka secara bertahap para orang tua mempersiapkan anak-anaknya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna bagi kehidupan.
Pada dasarnya posisi moral adalah netral. Karena ada moral yang baik dan moral yang buruk. Bagi orang yang melakukan kebaikan, berarti ia berbuat atau bermoral baik dan sebaliknya. Demikian juga keberhasilan pendidikan moral dari orang tua kepada anak. Apabila anak dapat berbuat baik berarti pendidikannya berhasil dan sebaliknya.
Keberhasilan pendidikan moral anak dalam keluarga dapat diamati, apabila ada perubahan dalam diri anak tentang pengetahuan (salat dan sebagainya), kemudian adanya penghargaan terhadap nilai salat tersebut dan tahapan terakhir adalah anak mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan yang berbentuk pelaksanaan ibadah salat minimal lima waktu sehari semalam.

Minggu, 03 Oktober 2010

Identitas Buku

1.     Identitas Buku
a.      Judul Buku : Teori semantic
b.      Pengarang : Jos Daniel Parera
c.       Penerbit    : Erlangga


2.      Isi Dari Buku
A.      Empata Aras Analisi Semantik
a.      Aras Makna Linguistik
Yang di maksudkan dengan aras manka Linguistik ialah makna-makna leksikal dan makna-makna structural sebuah bahasa. Fungsi-fungsi unsure-unsur bahasayang digunakan, seperti fungsi subjek, objek, predikat, dan keterangan;mereka harus dapat membedakan cirri-ciri kalimat berita, Tanya dan perintah; mereka dapat menggunakan partikel-partikel penghubung/perangkai dengan tepat sesuai peraturan ketatabahasaan bahasa yang digunakan.

b.      Aras Makna Proposisi
Aras makna yang kedua ini mempersoalkan apakah sebuah kalimat/proposisi/ujaran benar atau tidak benar. Penyampaian suatu makna belum menjamin bahwa kalimat/proposisi/ujaran itu benar/tidak benar. Hubungan pemahaman akan keanalisisan makna, kesisntesisan makna, kekontradiksian makna, dan kekontretan makna. Aras makna preposisi disebut juga aras makna Logika.

c.       Aras Makna Pragmatik
Ujaran yang dilontarkan seorang penutur tentu mengandung tujuan tertentu. Ujaran yang secara strtuktur bunyi dan morfologi-sintaksis sama, tidak selalu mempunyai tujuan dan fungsi yang sama. Keanekaragaman makna pragmatic ditentukan oleh beberapa factor seperti yang biasa dikategorikan oleh para sosiolinguis.
Sebuah kalimat Tanya tidak selalu berarti tanya, kalimat tanya secara linguistik mungkin bermakna minta atau ingin tahu. George Yule memberikan empat argument mengenai pragmatic termasuk dan berhubungan erat dengan makna.


d.      Aras Makna Kontekstual
Jiak mendengar ujaran “matikan”, maka akan muncul pikiran “matikan”apa. Ujaran itu mungkin dap[at bermakna “matikan lampu, matikan mesin mobil, matikan radio, matikan seekor binatang yang berbahaya, atau juga matikan seorang penjahat”. Untuk memahami makna sebuah wacana, perlu pemahaman akan konteks keberlangsungan ujaran-ujaran.


3.      Batas Liput Sematik
a.      Semiotik dan Semantik
Pengertian semiotic atau semiotika berhubungan dengan pengertian semantic karena kedua pengertian itu meliput makna dan kemaknaan dalam komunikasi antar manusia. Charles Morris mengatakan bahwa bahasa sebagi satu system sign dibedakan atas signal  dan symbol. Semiotic bukan hanya berhubungan dengan isyarat bahasa. Kita dapat mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu isyarat komunikasi yang bermakna. Ilmu-ilmu lain yang telah mengembangkan semiotika sebagai isyarat komunikasi adalah filsafat, psikologi, sosiologi dan antropologi.

b.      Sematik General dan Semantik
Kita perlu membedakan dua pengertian ini, yakni sematik general dan sematik. Semantic general yang diukir oleh Alfred Korzbyski. Ia mengatakan bahwa semantik general merupakan suatu reaksi terhadap filsafat Aristoteles.
Menurut Korzbski, semantic general (SG) ialah studi tentang kemampuan manusia untuk menyimpan pengalaman dan pengetahuan lewat fungsi bahasa sebagai penghubung waktu, bahasa mengikat waktu, dan bahasa mengikat umur manusia bersama. Korzbski mempergunakan metode psikomatematiakal sebagai dasar studi tentang ilmu manusia. Korzbski mempergunakan istilah General Semantik. Korzbski mempergunakan istilah general sematik untuk menunjukkan pendekatan baru dalam studi tentang manusia dalam fungsi bahasanya yang khas dan menunjukkan satu metode. Korzybski menunjukkan bahwa studi tentang manusia adalah studi tentang satu proses, satu kekhasan, dan satu hubungan. Konsep ini mendasari keperluan untuk menyusun runtutan kata untuk mewakili atau menyatakan segala sesuatu di dunia.

c.       Teori Semantik tentang Makna
Pada dasrnya para filusuf dan linguis mempersoalkan makna dalam bentuk hubungan antara bahasa(ujaran), pikiran, dan realitas di alam. Secara umum dibedakan teori makna atas (1) Teori Referensial atau Korespondensi, (2) Teori Kontekstual, (3) Teori Mentalisme atau Konseptual, dan (4) Teori Formalisme.
Teori Referensial merujuk kepada segi tiga makna seperti yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards. Makna, demikian adalah hbungan antara reference  dan referent yang dinyatakan lewat symbol bunyi bahasa baik berupa kata maupun frase atau kalimat.
Dalam teori ini referen atau korespondensi ‘pikiran atau reference’ (dalam terminoloogi lain = makna, ‘semse’ atau ‘contect’) ditempatkan dalam hubungan kausala dengan symbol (bentuk bahasa atau penamaan) dan referen, sedangkan antara symbol dan referen hubungan bunting.
Teori Mentalisme. F. de Saussure pertama menganjurkan studi bahasa secara sinkronis dan membedakan analisis bahasa dan membedakan analisis bahasa ata la parole, la langue, dan la lengage, secara tidak nyata telah memlopori teori makna yang bersifat mentalistik. Teori mentalisme ini tentu saja bertentangan dengan teori referens. Pada umumnya penganjur teori mentalime ini adalah para psikolinguis.
Teori Kontekstual. Untuk memahami pandangan teori kontekstual, ucapan J. R. Firth pada 1930 sebagai berikut ;
If we regard language as ‘experience’ or ‘communicative’ we imply that it is an instrument inner mental states. And as we know so lillte of inner mental states, even by the most careful introspection the languageproblem bicomes more mysterious the more we try to explain it be referring it to inner mental happenings which are not observable. By regarding words as acts, events, habits, we limit our inquiry to what is objective in the group life of our fellows. (Meetham, 1969, 499-500).
Teori Kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan sematik bandingan antarbahasa. Teori kontekstual atau konteks situasi sejalan dengan pendapat antropolog B. Malinowski dari Inggris dan apa yang di Amerika Serikat dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf.
Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau symbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Pakar semantic yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi, pendapat yang membedakan makna primer atau makna dasar dan sekunder atau makna kontekstual secara tidak eksplisit mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna.
d.      Batas Liput
Batas Liptu Semantik ini pun menjadi tujuan sebuah teori semantic. Batas liput semantic harus berhubungan dengan semua ujaran dalam bahasa yang bermakna dan hubungan-hubungan makna yang bermakna dan hubungan-hubungan makna yang dikandung oleh ujaran itu. Batas liput semantic ialah pencirian hakikat makna dan hubungannya.